TREMATODA DARAH
1. Schistosoma Japonicum
a.
Hospes
Hospesnya
adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus
sawah (rattus), sapi, babi rusa, dan lain-lain.
b.
Penyakit
Schistosomiasis japonica adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi salah satu species
cacing trematoda darah yang disebut Schistosoma japonicum. Penyakit
ini hanya terdapat di daerah-daerah Timur, yaitu di Jepang, Cina, Taiwan. Pilipina, Thailand, Laos, Malaysia
dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini telah ditemukan sejak
tahun 1937 yaitu di daerah danau Lindu, Sulawesi Tengah. Pada tahun 1972 telah ditemukan
daerah endemik baru, yaitu di lembah Napu, yang terletak ± 50
km di sebelah tenggara danau Lindu
c.
Distribusi
Geografik
Cacing ini
ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau
Lindu, dan Lembah Napu.
d.
Morfologi
S. japonicum berwarna kuning atau kuning-coklat.
Cacing
dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm. Dengan elektron mikroskop tidak ada duri pada
permukaan dorsal cacing jantan. Banyak duri menutupi
permukaan bagian dalam pengisap oral. Pengisap ventral memiliki banyak duri
yang lebih kecil daripada di pengisap oral.
Cacing betina memiliki
duri lebih sedikit daripada di pengisap oral, pengisap ventral, dan kanal
gynecophoric dari cacing jantan. hidupnya
di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di
alat-alat dalam seperti hati, paru, dan otak.
d. Daur hidup
Siklus hidup
Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni sangat mirip. Secara singkat,
telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami kontak dengan air mereka menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang disebut
miracidia .
Larva kemudian harus menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis
lindoensis Oncomelania dalam satu atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual melalui
serangkaian tahapan yang disebut sporocysts. Setelah tahap reproduksi aseksual, cercaria yang dihasilkan dalam
jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong dan harus
menginfeksi inang vertebrata yang cocok. Setelah cercaria menembus kulit tuan
rumah kehilangan ekornya dan menjadi sebuah schistosomule, Cacing kemudian bermigrasi melalui sirkulasi, berakhir di
pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur. Setiap
pasangan desposits sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur
menyusup melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.
e.
Patologi
dan Gejala Klinis
Kelainan
tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah
gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam hepatomegali dan
eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada
stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali;
biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf,
gejala paru dan lain-lain.
f.
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan
biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin
test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT
(Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).
g.
Epidemiologi
Di Indonesia
penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah
danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada
tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai
sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes
reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (rattus). Selain
itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing
ini.
Hospes
perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis Lindoensis baru
ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau
Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap
seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di pinggir parit di antara
sawah.
2. Fokus di daerah hutan di
perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah
diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan
hasil cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5%
setelah pengobatan.
h.
Pencegahan
Memberi
penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan dan
cara pemberantasan penyakit ini.
Buang air
besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak
mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara.
Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan
tetapi biasanya tidak praktis.
Memperbaiki
cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan membersihkan
badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
Memberantas
tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin
terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
Untuk
mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot
karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang
terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang
basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa
juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria.
Persediaan
air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari sumber
yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh
serkariannya.
Obati
penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit
berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh
cacing.
Para
wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko
penularan dan cara pencegahan
i.
Pengobatan
-
Obat Niridazol
(1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)
Niridazol
agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati
menjadi metabolit yang tidak toksik. Pengobatan infeksi S.japonicum dengan
Niridazol telah dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Dosis yang
dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan
mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bulan setelah pengobatan, 13% masih
positif 6 bulan setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan.
Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti
mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.
-
Obat Prazikuantel
(Embay® 8440; Droncit®, Biltricide®) Bayer, A.G. dan Merck Darmstadt
Di
Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan
pada infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis yang dipakai adalah 35 mg
per kg berat badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total
adalah 70 mg/kg berat badan per hari. Efek samping adalah mual (3,7%), pusing
(6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).
Dari
hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan
hasil penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan,
sehingga prospek obat ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal
sebagai obat anti Schistosoma di daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.
2. Schistosoma Mansoni
a.
Hospes
Hospes
definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika
b.
Penyakit
Pada manusia
cacing ini menyebabkan skistosomiasis usus.
c.
Distribusi
Geografik
Cacing ini
ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.
d.
Morfologi
Schistosomes,
tidak seperti trematoda lainnya, cacing panjang dan langsing. Cacing dewasa jantan berukuran
kira-kira 1 cm. Pada badan
cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan
S. Haematobium dan S.japonicum. Warnanya putih, dan memiliki pengisap oral
berbentuk corong pada akhir anterior. The external
part of the worm is composed of a double bilayer, which is continually renewed
as the outer layer, known as the membranocalyx, is shed continuously. The tegument bears a large number of
small tubercules. Alat kelamin laki-laki
terdiri dari 6 sampai 9 massa testis, terletak pada bagian punggung. There is one deferent canal beginning at each testicle
which is connected to a single deferent that dilates into a reservatory, the
seminal vesicle, located at the beginning of the gynacophoric canal. The female has a cylindrical body, longer and thinner
than the male (1.2 to 1.6 cm long by 0.016 cm wid betina ukurannya kira-kira 1,4 cm,
betina memiliki tubuh silinder, lebih panjang dan lebih tipis
dibandingkan laki-laki. The female parasite is
darker, and it looks gray. Parasit perempuan lebih gelap, dan tampak
abu-abu. The darker color is due to the presence
of a pigment ( ) in its digestive tube.
Warna gelap ini disebabkan oleh adanya pigmen ( hemozoin
) dalam tabung pencernaannya. This pigment is
derived from the digestion of blood. pigmen ini berasal dari pencernaan
darah. The
is elongated and slightly lobulated and is located on the anterior half of the
body.. In this
tube it is possible to find 1 to 2 eggs (rarely 3 to 4) but only 1 egg is
observed in the ootype at any one time. Dalam tabung rahim kemungkinan
ditemukan 1 hingga 2 telur (jarang 3 sampai 4),
namun hanya 1 telur yang diamati dalam ootype pada satu waktu. The genital pore opens ventrally. Pori-pori
terbuka kelamin bagian perut. The posterior
two-thirds of the body contain the vittelogenic glands and their winding canal,
which unites with the a little before it reaches the ootype.
Dua pertiga posterior tubuh berisi kelenjar vittelogenic dan kanal mereka berkelok-kelok,
The digestive tube begins at the anterior
extremity of the worm, at the bottom of the oral sucker. Tabung
pencernaan dimulai pada ujung anterior cacing, di bagian bawah pengisap oral. The digestive tube is composed of an which divides in two branches (right
and left) and that reunite in a single
. Tabung pencernaan terdiri dari kerongkongan
yang membagi dalam dua cabang (kanan dan kiri) dan yang menyatukan kembali
dalam satu sekum
. The intestines end blindly, meaning that there
is no
. Akhir usus tidak ada anus.
e. Daur hidup
Setelah
telur dari parasit yang ada pada
manusia dipancarkan di dalam kotoran dan masuk ke air, mirasidium
menetas keluar dari telur. The hatching happens in
response to temperature, light and dilution of faeces with water.
penetasan ini terjadi sebagai respon terhadap suhu, cahaya dan cairan tinja
dengan air.
From a single miracidium result a
few thousand cercaria, every one of which is capable of infecting man. Dari mirasidium tunggal berkembang
menjadi cercaria, The
cercaria emerge from the snail during daylight and they propel themselves in
water with the aid of their bifurcated tail, actively seeking out their final
host. cercaria ini muncul dari siput pada siang hari dan berenang dalam air dengan bantuan ekor bercabang
mereka, secara aktif mereka mencari
tuan rumah terakhir mereka. When they recognise
human
, they penetrate it within a very short time.
Ketika mereka mengenali kulit
manusia, mereka menembus itu
dalam waktu yang sangat singkat. This occurs in
three stages, an initial attachment to the skin, followed by the cercaria
creeping over the skin searching for a suitable penetration site, often a , and finally penetration of the skin
into the using secretions from the cercarial
post-acetabular, then pre-acetabular .
Hal ini terjadi dalam tiga tahap, lampiran awal untuk kulit, diikuti oleh
cercaria merayapi kulit mencari situs yang cocok dan akhirnya penetrasi ke
dalam kulit epidermis
menggunakan proteolitik
sekresi dari cercarial pasca- acetabular, kemudian pra-acetabular kelenjar
. On penetration, the head of the cercaria
transforms into an endoparasitic
, the schistosomule. Pada penetrasi, kepala
cercaria yang berubah menjadi sebuah endoparasitic larva
, (schistosomule). Each schistosomule spends a few days in the skin and
then enters the circulation starting at the dermal and .
Setiap schistosomule menghabiskan beberapa hari di kulit dan kemudian memasuki
sirkulasi dimulai pada dermal limfatik
dan venula
. Here they feed on blood, regurgitating the haem
as . The schistosomule migrates to the (5–7 days post-penetration) and then
moves via circulation through the left side of the
to the hepatoportal circulation (>15 days) where, if it meets a partner of
the opposite sex, it develops into a sexually mature adult and the pair migrate
to the mesenteric veins. Such pairings are .
Di sini mereka memakan darah. schistosomule ini berpindah ke paru-paru
(5-7 hari pasca-penetrasi) dan kemudian bergerak melalui sirkulasi melalui sisi
kiri jantung
ke sirkulasi hepatoportal (> 15 hari ) di mana, jika memenuhi pasangan lawan
jenis, itu berkembang menjadi dewasa dan pasangan bermigrasi ke vena
mesenterika. schistosomes jantan mengalami
pematangan yang normal dan perkembangan morfologi dengan adanya atau tidak
adanya perempuan. On the other hand, female
schistosomes do not mature without a male. Di sisi lain, schistosomes betinatidak matang tanpa jantan. Females schistosomes from single-sex infections are
underdeveloped and exhibit an immature reproductive system. Schistosomes betina dari infeksi seks-tunggal kurang berkembang dan
menunjukkan sistem reproduksi yang belum
matang. Although the maturation of the female worm
seems to be dependent on the presence of the mature male, the stimuli for
female growth and for reproductive development seem to be independent from each
other. Meskipun pematangan dari cacing
betina tampaknya tergantung pada kehadiran jantan dewasa, rangsangan
untuk pertumbuhan betina dan
untuk pengembangan reproduksi tampaknya independen satu sama lain. The adult female worm resides within the adult male
worm's gynaecophoric canal, which is a modification of the ventral surface of
the male forming a groove.
Cacing betina dewasa berada di dalam
kanal gynaecophoric cacing jantan dewasa, yang merupakan modifikasi dari permukaan
ventral jantan membentuk alur. The paired worms
move against the flow of blood to their final niche in the mesenteric
circulation where they begin egg production (>32 days). Langkah
cacing dipasangkan melawan aliran darah ke ceruk terakhir mereka dalam
sirkulasi mesenterika mana mereka mulai produksi telur (> 32 hari). The S. S. mansoni parasites are found predominantly in the
small inferior mesenteric blood vessels surrounding the large intestine and
caecal region of the host. mansoni ditemukan terutama di pembuluh
darah kecil mesenterika rendah di sekitar daerah usus dan sekum besar dari tuan
rumah. Each female lays approximately 300 eggs a
day (one egg every 4.8 minutes), which are deposited on the lining of the venous walls. Most of the body mass of female
schistosomes is devoted to the reproductive system.
Setiap betina meletakkan telur sekitar 300 hari (satu telur setiap 4,8 menit),
yang disimpan pada endotel
lapisan vena kapiler
dinding. [11]
Sebagian besar massa tubuh schistosomes perempuan dikhususkan untuk sistem
reproduksi. The female converts the equivalent of
almost her own body dry weight into eggs each day. The eggs move into the of the host's and are released into the environment
with the faeces. Telur pindah ke lumen
dari inang usus
dan dilepaskan ke lingkungan dengan tinja.
f. Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan
dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S. Japonicum,
akan tetapi lebih ringan.
Pada
penyakit ini splenomegali dilaporkan dapat menjadi beray sekali.
g. Diagnosis, Pengobatan, Prognosis, dan Epidemiologi
Sama seperti
pada S. Japonicum.
h.
Pencegahan
Menghindari kontak langsung dengan air yang
terkontaminasi oleh larva cacing, terapi untuk penderita, pengendalian hospes
perantara,, dan perbaikan sanitasi.
i.
Pengobatan
-
Emetin (Tartras
emetikus)
Pada
tahun 1918 Chistopherson mengobati penyakit kala azar dengan tartars emetikus.
Tartars emetikus atau antimon kalium tartrat dapat dikatakan sebagai obat
schistosomisida yang cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek amping yang agak berat, antara lain: mual, muntah, batuk,
pusing, sakit kepala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG, bradi
atau takikardia, syok dan kadang-kadang mati mendadak.
-
Fuadin Stibofen,
Reprodal, Neo-antimosan (Antimony-bispyrocatechin-disulfonic-Na Compound)
Obat
ini pertama kali diperkenalkan di Mesir pada tahun 1929. Obat ini merupakan trivalent
antimony salt yang dapat disuntikkan secara intramuscular sebagai larutan 7%.
Efek sampingnya adalah syok, neuritis retrobulbar, skotoma sentralis dan buta
warna. Sering pula dilaporkan efek samping muntah-muntah, tidak nafsu makan,
nyeri tubuh, sakit kepala, reaksi alergi, syok dan anuria. Hasil penyembuhan
adalah 40-47%.
3. Schistosoma Haematobium
a. Hospes
Hospes
definitif adalah manusia. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes
reservoar.
b. Penyakit
Cacing ini
menyebabkan skistosomiasis kandung kemih.
c. Distribusi Geografik
Cacing ini
ditemukan di Afrika, Spanyol, dan berbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah
Nil); tidak ditemukan di Indonesia.
d. Morfologi
Cacing
dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm.
Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan
di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum
e.
Daur hidup
Cacing dewasa berada dalam vena kandung kemih. Telur dikeluarkan bersama
urin dan tinja. Telur dalam air menetas menjadi mirasidium. Mirasidium masuk ke
dalam tubuh keong (hospes perantara). Mirasidium berkembang menjadi serkaria.
Serkaria menginfeksi manusia dalam air . serkaria menjadi skistosomula.
Kemudian menjadi cacing dewasa dalam hati.
f. Patologi dan Gejala Klinis
Kelamin
terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah
hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindroma disentri ditemukan bila
terjadi kelainan di rekrum.
g.
Pencegahan
Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan pendidikan masyarakat yang disertai perbaikan sanitasi
untuk mencegah ekskreta yang mencemari persediaan air bersih atau dengan
memperbaiki tata cara penyediaan air bersih untuk keperluan sehar-hari.
h.
Pengobatan
-
Astiban TW 56
(Stibocaptate atau antimony-dimercaptosuccinate, garam Na dan K)
Obat
ini diperkenalkan pada tahun 1954 oleh Friedheim dkk., dengan angka penyembuhan
pada infeksi S.haematobium yang hampir mencapai 100%. Astiban diberikan secara
intramuscular dalam bentuk larutan 10%. Dosis tergantung dari beberapa faktor
seperti: umur, keadaan umum penderita, spesies parasit, pengobatan perorangan
atau masal dan pengobatan radikal atau supresif.
Dosis
total untuk dewasa adalah 30-50 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimum 2,5
gram. Dosis total ini harus dibagi dalam 5 kali suntikan. Pada anak-anak dengan
berat badan kurang dari 20 kg, dosis total adalah 40-60 mg/kg berat badan. Efek
samping hampir sama dengan obat antimon lainnya, akan tetapi lebih ringan
seperti pada pengobatan dengan tartras emetikus.
Daftar Pustaka
·
www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar